Oleh : Toto Pardamean Sinaga
Pendahuluan
Persoalan
pendidikan tidak cukup hanya mempersoalkan kurikulum semata. Kurikulum hanyal panduan
dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajarnya dengan
harapan tidak akan menyimpang dari apa yang dicita-citakan oleh negara dalam
rangkan mewujudkan rakyatnya yang cerdas.
Jauh
lebih penting dari soal bongkar pasangnya kurikulum adalah bagaimana kurikulum
sebagai panduan itu dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pihak yang
terlibat langsung maun tidak langsung dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dan
pengajaran khususnya disekolah-sekolah formal.
Kurikulum
memang bukan merupakan barang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dari
dulu sejak negara ini berhasil melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan,
kurikulum terus berubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kurikulum
memang tidak mesti menjadi baku dan statis, namun bukan berarti bahwa
kurikulumlah satu-satunya penentu dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Banyak
hal-hal lain yang sangat berpengaruh dalam menentukan tercapai tidaknya tujuan
pendidikan itu. Dari banyak hal itu banyak pula yang terabaikan dan kurang
menarik diperhatikan oleh pengampu kebijakan dibidang pendidikan.
Guru yang kritis dan kreatif
Kurikulum
2013 dengan segala perbedaan isinya dari kurikulum sebelumnya tidak lalu menjadi
istimewa jika tidak diikuti oleh berubahnya paradigma dan perilaku guru sebagai
tenaga professional edukatif. Harus diakui bahwa banyak hal yang sudah
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas
keprofesionalan guru. Mulai dari kebijakan menyangkut tata kepangkatan/golongan
yang jauh lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pegawai negeri disektor lain
(nonfungsional) sampai kepersoalan pemberian insentif profesi (sertifikasi)
yang jumlahnya sangat menggiurkan dan menimbulkan rasa iri dari sesama pegawai
negeri disektor lain,penyamaan status secara bertahap bagi guru honorer dan
nonpegawai negeri. Penyelenggaraan berbagai penataran guru mata pelajaran
hingga pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan guru kejenjang yang
lebih tinggi. Namun semua itu tak banyak merubah mutu profesionalitas guru
(terutama diberbagai daerah-daerah) termasuk beberapa kota besar diluar pulau
Jawa.
Merubah paradigm lama dan
sifat monokultur para guru
Penekanan
kurikulum 2013 yang rencananya segera untuk dilaksanakan jika dicermati
ternyata mengisyaratkan tiga sisi yang menjadi perhatian besarnya ;
- tentang moral dan keimanan dalam rangka menjaga karakter bangsa
- tentang daya kritis dalam memelihara kemampuan analisis dan kecermatan
- tentang kreativitas dalam rangka mendorong tumbuh kembangnya daya cipta dan menghindarkan sikap ketrgantungan
tiga
pilar tersebut diatas itulah yang coba digarap didalam pelaksanaan kurikulum
2013.
Sebenarnya
hal itu sudah menjadi domainnya dunia pendidikan modern sejak lama. Dan sudah
ada tercantum dalam kurikulum sebelumnya walaupun mungkin dalam redaksi yang
berbeda namun semua itu tinggal sebagai isi kurikulum semata,
Sebenarnya
persoalan moral dan keimanan,daya kritis dan daya kreativitas peserta didik
yang menjadi harapan dan janji kurikulum 2013 itu, sangat tergantung ada
tingkat keimanan dan moral, daya kritik dan kreativ para guru itu sendiri. Tiga
pilar itu sejak dulu merupakan potensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik
yang ia bawa dari lingkungan keluarganya (pendidikan informal) disaat ia
memasuki dunia sekolah (pendidikan formal). Namun potensi itu tidak berkembang
secara lebih baik ketika para guru disekolah-sekolah tidak menyadari adanya
potensi itu.
Daya kritis dan keatif guru
menjadi penting
Kekritisan
guru terhadap kehendak kurikulum sebagai sesuatu yang harus dipedomani seorang
guru dalam melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik dimaksudkan adalah agar
apa yang tengah dan akan ia ajarkan kepada anak didiknya selalu memiliki
kesesuaian antara apa yang ingin dicapai dengan apa yang seharusnya
dikerjakan/dilakukan. Guru tidak perlu menempatkan kurikulum sebagai sesuatu
yang sacral sehingga tidak berani melakukan berbagi terobosan dalam rangka
mengefektifkan kegiatan belajar mengajar (proses pengajaran dan pendidikan).
Atau sebaliknya menyebabkan guru merasa emoh untuk memaksimalkan pemikirannya
untuk berkreasi karena takut kualat pada kurikulum apalagi jika ditambah
egosentrisnya kepala sekolah dengan jabatannya.
Daya
kritis guru diperlukan dalam memperkuat analisisnya terhadap buku-buku bahan
pendukung proses belajar mengajar (apalagi jika buku dijadikan sebagai ajang bisnis
yang merupakan kolusi antara pejabat-pejabat di sekolah dan kemendiknas/kemenag
dengan korporasi pengusaha buku). Dengan daya kritis ini diharapkan guru
memiliki keberanian menolak adanya pemaksaan pembelian buku-buku yang tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan dari pengajaran dan pendidikan sesuai dengan
mata pelajaran yang ia asuh. Jangan heran jika diberbagai sekolah masih ada
guru yang terpaksa bertentangan dengan kepala sekolah akibat adanya proyek
pengadaan buku-buku bacaan yang pada akhirnya mengganggu proses pengajaran dan
pendidikan yang tengah berlangsung.
Daya
kritis peserta didik (siswa/murid) tak akan pernah terwujud jika mereka
dikelilingi oleh guru-guru yang tidak kritis terhadap apa yang tengah
berlangsung disekolah dan lingkungan mereka.
Demikian
pula soal kreativitas peserta didik sangat tergantung pada tingkat dan daya kreatvitas sang guru
sebagai pendamping para peserta didik itu. Kreativitas peserta didik
(siswa/murid) sudah sejak dulu menjadi potensi yang tersembunyi dan tidak
muncul kepermukaan karena adanya tekanan psikhologis dan beban tradisi yang
disebabkan oleh adanya monokultur paradigma guru dalam menempatkan posisi guru
dan murid sebagai dua sisi yang saling berlawanan bukan sebagai dua sisi yang
saling menyempurnakan.
Alternatif lain yang bisa
dicoba.
Kehendak
untuk merubah bentuk pendidikan agar benar-benar bisa dihandalkan dalam
mencapai tujuan yang dicita-citakan memang memerlukan berbagai alternatif yang
dapat dilaksanakan dalam mengantisipasi kemungkinan kegagalan yang akan
dihadapi.
Niat
pemerintah khususnya Kemendiknas untuk memulai proses pelaksanaan kurikulum
2013 dengan menyelenggarakan pelatihan
bagi guru terlebih dahulu memang sudah semestinya dilakukan. Namun perlu untuk
dicermati tentang bentuk,pola dan tujuan dari pelatihan itu.Pelatihan guru
untuk memulai pelaksanaan kurikulum 2013 hanya menjadi sia-sia jika bentuk dan
polanya sama seperti penataran guru yang selama ini dilakukan,yang kebanyakan
hanya bentuk/ cara lain untuk menghabiskan sisa anggaran semata.
Padahal
besarnya biaya yang diperlukan untuk itu dapat lebih efektif jika pemerintah
mau membuka dirinya untuk memberdayakan orang-orang yang memiliki kreativitas
tinggi yang berada diluar sekolah dan tidak berstatus PNS atau guru formal.
Langkah-langkah
untuk memberdayakan orang-orang yang berada diluar sekolah merupakan alternatif
yang baik untuk dicoba. Ada perbedaan yang menyolok antara guru disekolah
dengan guru ahli yang datang dari luar sekolah dalam memberi pengalaman belajar
kepada peserta didik. Pendekatan yang berbeda dari kedua pihak itu akan mampu
memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Selama ini yang tidak ditemui dari
kegiatan disekolah adalah pengalaman belajar dari pengalaman yang dialami
langsung peserta didik. Jikapun ada sangat terbatas dan tidak memberi kesan
yang cukup membekas.
Hanya
orang-orang yang berada diluar sekolah itulah yang berkemampuan untuk
mengajarkan pengalaman kreativitasnya sebab mereka tidak akan terganggu dengan
persoalan memburu target kurikulum.
Seimbangkan antara kegiatan Intrakurikuler
dan Ekstrakurikuler
Formulasi
keterlibatan para guru ahli yang bukan PNS dan guru honor/tetap itu bisa
ditempuh dengan memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih terencana dan
terprogram dan bersifat intensif. Kurikulum 2013 ini sebenarnya mengisyaratkan
hal itu, yakni sekolah tidak bisa dikelola dengan cara-cara eksklusif (tertutup
dari kegiatan yang tengah berlangsung diluar) dan tertutup dari keterlibatan
anggota masyarakat diluar strukturnya karena diluar sekolah itu sangat banyak
kemampuan-kemampuan praktis yang bisa menjawab pertanyaan mutu pendidikan
formal.
Seharusnya
dua sisi antara soal target kemampuan untuk melanjutkan pendidikan dan target
kemampuan untuk memasuki dunia kerja dapat dibagi dalam dua program yakni
intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang masing-masing bidang itu ditangani oleh
dua formasi yang berbeda pula. Pengelompokan itu menjadi satu tim di
intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Melibatkan
pihak luar sekolah dalam menangani persoalan ekstrakurikuler sekaligus akan
membuka kesempatan pada anggota masyarakat yang berminat pada bidang pendidikan
(guru) sekaligus mendekatkan hubungan sekolah dengan masyarakatnya. Jika alasan
tidak melakukannya karena keterbatasan biaya, ayo sama-sama kita hitung berapa
besar biaya yang terbuang percuma ketika pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas
dan Kemenag) menyelenggarakan penataran-penataran guru mata pelajaran yang sama
sekali tak memberi pengaruh apapun bagi peningkatan mutu pembelajaran dan
pendidikan yakni mutu kebermanfaatan.
Paradigma terhadap pendidikan sudah harus dirubah kearah yang lebih progresif. Dan itu tidak akan mampu jika hanya dilakukan oleh sekolah formal beserta tim gurunya itu.
Paradigma terhadap pendidikan sudah harus dirubah kearah yang lebih progresif. Dan itu tidak akan mampu jika hanya dilakukan oleh sekolah formal beserta tim gurunya itu.
Penutup
Pendidikan
bermutu yang bisa menghasilkan orang-orang cerdas yang bermoral,berpengetahuan,berketerampilan
dan berkarakter,merupakan cita-cita seluruh masyarakat sebagai bangsa. Untuk
mencapai cita-cita itu diperlukan keterlibatan seluruh elemen bangsa ini baik
pemerintah maupun rakyat.
Keterbukaan
pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan formal memerlukan keluwesan sikap
dalam mengajak dan melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam kegiatan belajar
mengajar,dalam kegiatan pengajaran dan pendidikan. Sekolah tak lagi boleh
dibiarkan menjadi lembaga ekslusif yang berjarak cukup jauh dari masyarakatnya,
para guru tak lagi boleh menganggap dan memposisikan dirinya menjadi kelompok
eksklusif yang berjarak cukup jauh dari masyarakat sekolahnya. Kurikulum
hanyalah sebagian perlengkapan dunia pendidikan,namun bukan merupakan sesuatu
yang menyebabkan guru,peserta didik menjadi tidak kritis dan tidak kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar