Kamis, 28 Maret 2013

HAL LAIN DARI RENCANA PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN 2013


Oleh : Toto Pardamean Sinaga
Pendahuluan
Persoalan pendidikan tidak cukup hanya mempersoalkan kurikulum semata. Kurikulum hanyal panduan dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajarnya dengan harapan tidak akan menyimpang dari apa yang dicita-citakan oleh negara dalam rangkan mewujudkan rakyatnya yang cerdas.
Jauh lebih penting dari soal bongkar pasangnya kurikulum adalah bagaimana kurikulum sebagai panduan itu dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pihak yang terlibat langsung maun tidak langsung dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pengajaran khususnya disekolah-sekolah formal.
Kurikulum memang bukan merupakan barang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dari dulu sejak negara ini berhasil melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan, kurikulum terus berubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kurikulum memang tidak mesti menjadi baku dan statis, namun bukan berarti bahwa kurikulumlah satu-satunya penentu dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Banyak hal-hal lain yang sangat berpengaruh dalam menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan itu. Dari banyak hal itu banyak pula yang terabaikan dan kurang menarik diperhatikan oleh pengampu kebijakan dibidang pendidikan.

Guru yang kritis dan kreatif

Kurikulum 2013 dengan segala perbedaan isinya dari kurikulum sebelumnya tidak lalu menjadi istimewa jika tidak diikuti oleh berubahnya paradigma dan perilaku guru sebagai tenaga professional edukatif. Harus diakui bahwa banyak hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas keprofesionalan guru. Mulai dari kebijakan menyangkut tata kepangkatan/golongan yang jauh lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pegawai negeri disektor lain (nonfungsional) sampai kepersoalan pemberian insentif profesi (sertifikasi) yang jumlahnya sangat menggiurkan dan menimbulkan rasa iri dari sesama pegawai negeri disektor lain,penyamaan status secara bertahap bagi guru honorer dan nonpegawai negeri. Penyelenggaraan berbagai penataran guru mata pelajaran hingga pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan guru kejenjang yang lebih tinggi. Namun semua itu tak banyak merubah mutu profesionalitas guru (terutama diberbagai daerah-daerah) termasuk beberapa kota besar diluar pulau Jawa.

Merubah paradigm lama dan sifat monokultur para guru

Penekanan kurikulum 2013 yang rencananya segera untuk dilaksanakan jika dicermati ternyata mengisyaratkan tiga sisi yang menjadi perhatian besarnya ;
  1. tentang moral dan keimanan dalam rangka menjaga karakter bangsa
  2. tentang daya kritis dalam memelihara kemampuan analisis dan kecermatan
  3. tentang kreativitas dalam rangka mendorong tumbuh kembangnya daya cipta dan menghindarkan sikap ketrgantungan
tiga pilar tersebut diatas itulah yang coba digarap didalam pelaksanaan kurikulum 2013.
Sebenarnya hal itu sudah menjadi domainnya dunia pendidikan modern sejak lama. Dan sudah ada tercantum dalam kurikulum sebelumnya walaupun mungkin dalam redaksi yang berbeda namun semua itu tinggal sebagai isi kurikulum semata,
Sebenarnya persoalan moral dan keimanan,daya kritis dan daya kreativitas peserta didik yang menjadi harapan dan janji kurikulum 2013 itu, sangat tergantung ada tingkat keimanan dan moral, daya kritik dan kreativ para guru itu sendiri. Tiga pilar itu sejak dulu merupakan potensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik yang ia bawa dari lingkungan keluarganya (pendidikan informal) disaat ia memasuki dunia sekolah (pendidikan formal). Namun potensi itu tidak berkembang secara lebih baik ketika para guru disekolah-sekolah tidak menyadari adanya potensi itu.


Daya kritis dan keatif guru menjadi penting

Kekritisan guru terhadap kehendak kurikulum sebagai sesuatu yang harus dipedomani seorang guru dalam melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik dimaksudkan adalah agar apa yang tengah dan akan ia ajarkan kepada anak didiknya selalu memiliki kesesuaian antara apa yang ingin dicapai dengan apa yang seharusnya dikerjakan/dilakukan. Guru tidak perlu menempatkan kurikulum sebagai sesuatu yang sacral sehingga tidak berani melakukan berbagi terobosan dalam rangka mengefektifkan kegiatan belajar mengajar (proses pengajaran dan pendidikan). Atau sebaliknya menyebabkan guru merasa emoh untuk memaksimalkan pemikirannya untuk berkreasi karena takut kualat pada kurikulum apalagi jika ditambah egosentrisnya kepala sekolah dengan jabatannya.
Daya kritis guru diperlukan dalam memperkuat analisisnya terhadap buku-buku bahan pendukung proses belajar mengajar (apalagi jika buku dijadikan sebagai ajang bisnis yang merupakan kolusi antara pejabat-pejabat di sekolah dan kemendiknas/kemenag dengan korporasi pengusaha buku). Dengan daya kritis ini diharapkan guru memiliki keberanian menolak adanya pemaksaan pembelian buku-buku yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pengajaran dan pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang ia asuh. Jangan heran jika diberbagai sekolah masih ada guru yang terpaksa bertentangan dengan kepala sekolah akibat adanya proyek pengadaan buku-buku bacaan yang pada akhirnya mengganggu proses pengajaran dan pendidikan yang tengah berlangsung.
Daya kritis peserta didik (siswa/murid) tak akan pernah terwujud jika mereka dikelilingi oleh guru-guru yang tidak kritis terhadap apa yang tengah berlangsung disekolah dan lingkungan mereka.
Demikian pula soal kreativitas peserta didik sangat tergantung pada tingkat dan daya kreatvitas sang guru sebagai pendamping para peserta didik itu. Kreativitas peserta didik (siswa/murid) sudah sejak dulu menjadi potensi yang tersembunyi dan tidak muncul kepermukaan karena adanya tekanan psikhologis dan beban tradisi yang disebabkan oleh adanya monokultur paradigma guru dalam menempatkan posisi guru dan murid sebagai dua sisi yang saling berlawanan bukan sebagai dua sisi yang saling menyempurnakan.

Alternatif lain yang bisa dicoba.

Kehendak untuk merubah bentuk pendidikan agar benar-benar bisa dihandalkan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan memang memerlukan berbagai alternatif yang dapat dilaksanakan dalam mengantisipasi kemungkinan kegagalan yang akan dihadapi.
Niat pemerintah khususnya Kemendiknas untuk memulai proses pelaksanaan kurikulum 2013  dengan menyelenggarakan pelatihan bagi guru terlebih dahulu memang sudah semestinya dilakukan. Namun perlu untuk dicermati tentang bentuk,pola dan tujuan dari pelatihan itu.Pelatihan guru untuk memulai pelaksanaan kurikulum 2013 hanya menjadi sia-sia jika bentuk dan polanya sama seperti penataran guru yang selama ini dilakukan,yang kebanyakan hanya bentuk/ cara lain untuk  menghabiskan sisa anggaran semata.
Padahal besarnya biaya yang diperlukan untuk itu dapat lebih efektif jika pemerintah mau membuka dirinya untuk memberdayakan orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi yang berada diluar sekolah dan tidak berstatus PNS atau guru formal.
Langkah-langkah untuk memberdayakan orang-orang yang berada diluar sekolah merupakan alternatif yang baik untuk dicoba. Ada perbedaan yang menyolok antara guru disekolah dengan guru ahli yang datang dari luar sekolah dalam memberi pengalaman belajar kepada peserta didik. Pendekatan yang berbeda dari kedua pihak itu akan mampu memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Selama ini yang tidak ditemui dari kegiatan disekolah adalah pengalaman belajar dari pengalaman yang dialami langsung peserta didik. Jikapun ada sangat terbatas dan tidak memberi kesan yang cukup membekas.
Hanya orang-orang yang berada diluar sekolah itulah yang berkemampuan untuk mengajarkan pengalaman kreativitasnya sebab mereka tidak akan terganggu dengan persoalan memburu target kurikulum.
Seimbangkan antara kegiatan Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler
Formulasi keterlibatan para guru ahli yang bukan PNS dan guru honor/tetap itu bisa ditempuh dengan memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih terencana dan terprogram dan bersifat intensif. Kurikulum 2013 ini sebenarnya mengisyaratkan hal itu, yakni sekolah tidak bisa dikelola dengan cara-cara eksklusif (tertutup dari kegiatan yang tengah berlangsung diluar) dan tertutup dari keterlibatan anggota masyarakat diluar strukturnya karena diluar sekolah itu sangat banyak kemampuan-kemampuan praktis yang bisa menjawab pertanyaan mutu pendidikan formal.
Seharusnya dua sisi antara soal target kemampuan untuk melanjutkan pendidikan dan target kemampuan untuk memasuki dunia kerja dapat dibagi dalam dua program yakni intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang masing-masing bidang itu ditangani oleh dua formasi yang berbeda pula. Pengelompokan itu menjadi satu tim di intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Melibatkan pihak luar sekolah dalam menangani persoalan ekstrakurikuler sekaligus akan membuka kesempatan pada anggota masyarakat yang berminat pada bidang pendidikan (guru) sekaligus mendekatkan hubungan sekolah dengan masyarakatnya. Jika alasan tidak melakukannya karena keterbatasan biaya, ayo sama-sama kita hitung berapa besar biaya yang terbuang percuma ketika pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas dan Kemenag) menyelenggarakan penataran-penataran guru mata pelajaran yang sama sekali tak memberi pengaruh apapun bagi peningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan yakni mutu kebermanfaatan.
Paradigma terhadap pendidikan sudah harus dirubah kearah yang lebih progresif. Dan itu tidak akan mampu jika hanya dilakukan oleh sekolah formal beserta tim gurunya itu.
Penutup
Pendidikan bermutu yang bisa menghasilkan orang-orang cerdas yang bermoral,berpengetahuan,berketerampilan dan berkarakter,merupakan cita-cita seluruh masyarakat sebagai bangsa. Untuk mencapai cita-cita itu diperlukan keterlibatan seluruh elemen bangsa ini baik pemerintah maupun rakyat.
Keterbukaan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan formal memerlukan keluwesan sikap dalam mengajak dan melibatkan seluruh unsur masyarakat dalam kegiatan belajar mengajar,dalam kegiatan pengajaran dan pendidikan. Sekolah tak lagi boleh dibiarkan menjadi lembaga ekslusif yang berjarak cukup jauh dari masyarakatnya, para guru tak lagi boleh menganggap dan memposisikan dirinya menjadi kelompok eksklusif yang berjarak cukup jauh dari masyarakat sekolahnya. Kurikulum hanyalah sebagian perlengkapan dunia pendidikan,namun bukan merupakan sesuatu yang menyebabkan guru,peserta didik menjadi tidak kritis dan tidak kreatif.