Selasa, 23 Agustus 2011

KETIKA AKU MENYAKSIKAN ACARA TELEVISI MALAM INI...

Malam ini aku tertegun menyaksikan sebuah acara di televisi swasta tentang seorang wanita muda yang mendedikasikan dirinya sebagai fasilitator pendidikan bagi anak rimba. Ketertegunanku meliputi kekaguman pada wanita itu dan keharuanku pada anak-anak rimba yang bersemangat belajar membaca,menulis dan berhitung. Ketika ditanyakan pada salah satu bocah rimba itu tentang kesukaannya pada pembelajaran itu, tak disangka bocah itu menjelaskan kesukaannya belajar itu dengan baik,sangat komunikatif dan bersifat realitas dengan logat yang sangat santun dan penuh kejujuran. Pada saat jedah komersial, sepeti biasa aku berpindah chanel ke stasiun tv lain, disitu aku menyaksikan film dokumenter tentang perjuangan nelayan pencari lobster dengan menggunakan kompresor bekas sebagai alat bantu nafas yang bisa beresiko kematian atau cacat permanen.

Sementara di chanel lain aku menyaksikan tentang riuh rendahnya perdebatan soal buronan yang tertangkap dengan silang pendapat yang tak berujung dan tak mengandung kepentingan apapun bagi rakyat banyak.
Aku terhenti sejenak dalam tanda tanya,ada apakah negaraku sekarang ini. Dua wajah bangsaku yang dipertontonkan televisi itu seperti memberi isyarat adanya dua dunia yang berbeda di tanah airku yang satu,bangsa yang satu serta bahasaku yang satu.Tanah airku seperti terbelah menjadi dua wilayah, wilayah terkebelakang dan wilayah terkemuka. Emosionalku serasa memaksaku untuk memilih wilayah mana menjadi tanah airku,memilih mana yang menjadi bangsaku,bahasa mana yang menjadi bahasaku.

Akupun menjadi bertanya tentang makna nasionalisme yang tengah ramai dijadikan tema pembicaraan oleh banyak orang karena rimba dan lautan sesungguhnya bukan wilayah tertutup lagi dan semua orang dapat dengan jelas ritme kehidupan yang ada didalamnya.

Anak-anak rimba itu, nelayan-nelayan nekad itu tak merasa mereka tersingkirkan atau terlupakan dan orang-orang yang berdebat tentang buronan itu tak pula merasa tersindir dan malu hati melihat kenyataan memilukan itu.
Ah....betapa gundah gulananya aku menatap semua perbedaan yang benar-benar nyata ini.Entah mana yang sesungguhnya terdidik, anak-anak rimba itukah atau orang-orang yang berdebat itu, Siapakah yang realitas cintanya pada negara berketuhanan ini, anak-anak rimba itu ataukah orang-orang yang berdebat itu.
Kepada Tuhan aku berdoa, berikan berkah pada anak-anak rimba pemilik rimba raya,berikan berkah pada nelayan-nelayan pemilik lautan yang bertaruh dengan nyawanya itu. Hanya tangan Tuhan lah yang dapat memberi kesejahteraan bagi bangsaku itu,bagi saudaraku itu.

Ketika aku menyaksikan acara televisi malam ini aku menjadi yakin bahwa perjanjian luhur tentang negara kesatuan ini adalah sebuah kesimpulan sementara yang memerlukan perumusan baru yang lebih realistis dan dipercaya. Dan aku menjadi lebih yakin bahwa tak banyak bangsaku yang memahami apa keistimewaan sebuah negara kesatuan bagi kehidupannya jika melihat kenyataan buruk ini yang telah beratus tahun berlangsung.
Anak-anak rimba yang terus membaca,menulis dan berhitung,nelayan-nelayan yang terus mempertaruhkan nyawanya itu entah sampai kapan kuat bertahan menyatakan dirinya bangsa Indonesia. Itu kecemasanku,itu kegusaranku ketika aku menyaksikan acara televisi malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar